Selasa, 06 September 2011

NPWP Integrated yang Patut dan Adil

NPWP Integrated yang Patut dan Adil

yuniawan on Feb 8th 2011
Dua hari yang lalu, saya menerima kiriman surat pemberitahuan dari Kantor Pajak. Meski saya sudah memiliki NPWP, jujur saja, saya belum dapat merasa ikhlas untuk membayar pajak. Wajah Gayus terus saja membayangi konotasi tentang carut-marut perpajakan di Indonesia. Jika saja Kantor Pajak benar-benar dibersihkan dari kebejatan, itu pun belum sepenuhnya mampu mendorong keikhlasan saya dalam membayar pajak.
Dalam kondisi ini, faktor trust menjadi begitu berpangaruh. Akibatnya, “coretan” NIHIL selalu mewarnai dalam setiap pengisian lembar pajak (PPh) yang disodorkan. Saya yakin, hal ini juga berlaku bagi mayoritas anak bangsa yang lain. Bahkan bagi mereka yang terbukti memiliki penghasilan jauh di atas saya.

Pajak merupakan sejarah panjang peradaban manusia. Bertolak belakang dengan suara demokrasi yang kita dengung-dengungkan, pajak dapat dikatakan merupakan tindak pemaksaan dari penguasa untuk menarik suatu pungutan dari rakyatnya. Dikembalikan atau tidaknya hasil pungutan tersebut kepada rakyat, terletak di tangan penguasa. Dalam hal ini, penguasa memiliki kewenangan mutlak. Oleh karenanya banyak istilah yang semakna, yang diciptakan sejalan dengan kepentingan penguasa. Mulai dari scribe, eisphora, portoria, hingga upeti. Sementara di Indonesia, mengenal pajak sejak diberlakukannya huistaks di tahun 1816.

Jujur saja, sebenarnya saya tidak memiliki kompetensi apapun di bidang perpajakan. Bisa dikatakan, saya termasuk orang buta soal pajak. Hanya saja, logika yang saya tangkap, jika memang pajak itu sesuai dengan fungsi demokrasi dan redistribusi (Setiyaji dan Amir, 2005), maka harusnya kondisi bangsa ini tidak seperti sekarang.

Negara harusnya mampu memberi hak timbal balik yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Pembangunan pun, menjadi kian cepat untuk dinikmati. Kita tidak perlu mengukur berapa kilometer per tahun pembangunan jalan tol di Indonesia, jika dibandingkan dengan Cina. Namun cukup dengan melihat frekuensi lubang jalan yang bertebaran di sana-sini. Kita simak, masih adakah di negara kita jalan berlubang ? Jawabnya tentu kita sama-sama tahu. Bahkan, puluhan atau mungkin ratusan kasus jalan berlubang, kita dengar telah ‘berhasil’ menjadi penyebab kematian rakyat pengguna jalan.

Menurut Setiyaji dan Amir (2005), pajak yang besar yang ditarik dari rakyat, kini tidak dikembalikan lagi ke rakyat lewat anggaran pembangunan, tetapi justru untuk belanja pemerintah. Belanja pemerintah, harusnya cukup dipenuhi dengan mengiris sebagian kecil kekayaan alam Indonesia. Sebagian yang lain, tentu masih sangat mencukupi jika digunakan untuk menopang pembangunan nasional. Berbagi singkong dengan anak cucu bangsa, tentu akan terasa lebih nikmat ketimbang harus berbagi roti dengan bangsa lain.

Bahkan, menurut Gusfahmi (2009), alokasi pajak untuk mengatasi kemiskinan melalui Departemen sosial hanya Rp. 16,2 triliun atau senilai 4,1 % dari APBN tahun 2005. Di sisi lain, jumlah wajib pajak kita terus beranjak naik. Namun kinerja perpajakan nasional, seakan tak mampu berjalan seiring. Dari data tahun 2002, negara hanya mampu meraup Rp. 180 triliun dari potensi sebesar Rp. 235 triliun. Jadi, menurut saya, peningkatan jumlah Wajib Pajak, tidak dapat dijadikan program utama untuk peningkatan angka penerimaan pajak.

NPWP Integrated yang Patut dan Adil

Menghadapi carut-marut perpajakan Indonesia, sadar dengan kebutaan saya, namun dengan dilandasi rasa cinta kepada tanah air, maka saya pun coba untuk merumuskan secuil perbaikan. Sistem ini, kemudian dapat saya sebut sebagai konsep NPWP Integrated. Maksudnya, sistem perpajakan harus terintegrasi dengan profil rakyat dan profil anggaran belanja negara untuk pembangunan.

Pengenalan terhadap stratifikasi sosial-budaya-ekonomi rakyat, diharapkan mampu merumuskan tarif pajak yang patut dan adil. Menyelami kondisi terkini rakyat, diyakini akan dapat menampilkan tarif pajak yang adil dan tidak membebani. Sesungguhnya, rakyat adalah pewaris bangsa ini ! Profil anggaran belanja negara, dipelajari, guna mengawasi dan menerapkan program pembangunan yang berbasis pada kebutuhan rakyat. Rencana anggaran belanja pemerintah yang tidak diperuntukkan bagi pembangunan, sebaiknya tidak menggunakan dana hasil pungutan pajak. Kesemuanya, wajib dilaporkan secara terbuka melalui Kantor Pajak terdekat.

Secara moral, Kantor Pajak setempat wajib melaporkan pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Penerimaan pajak dari warga Kota X misalnya, di tahun sekian, senilai sekian, telah digunakan untuk membangun jembatan Z di Kecamatan Y. Juga digunakan untuk membangun Rumah Sakit dan Panti Sosial yang terletak di Kecamatan W, senilai sekian. Demikian seterusnya. Pelaporan disajikan secara online dan dapat diakses oleh semua orang secara terbuka dan bertanggung jawab.

Potensi NPWP Integrated

Satu hal yang utama, pajak itu harus terdefinisikan dengan jelas melalui Undang-Undang, yang kemudian diteruskan melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini ditujukan, agar tidak ada manipulasi atau upaya menghindar bagi mereka yang memang berkewajiban membayarnya. UU harus dapat menjamin rasa keadilan dan kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia.

Kedua, sistem pajak di Indonesia harus adil dan patut. Oleh karenanya, sistem pemungutan pajak harus : 1) Memiliki bukti dan tujuan utama untuk mengurangi kemiskinan. 2) Tidak semata untuk meningkatkan pendapatan negara. Artinya, pajak bukan untuk membiayai pemerintahan, namun hanya diperuntukkan bagi pembiayaan pembangunan dan peningkatan kualitas fasilitas umum. 3) Rakyat miskin harus bebas dari pajak apapun juga, termasuk PBB. Sebaliknya, kaum kaya yang ingkar membayar pajak, harus didenda dengan keras dan tegas. Khususnya, jika terbukti menyuap petugas pajak. Salah satu contohnya, keberadaan Nota Banding seperti yang diungkap Gayus, menunjukkan betapa pemilik modal justru dapat dengan mudah mempermainkan pajak. Ini tentu sebuah paradoks bagi pengejahwantahan fungsi pajak itu sendiri.

Disamping itu, saya pun menyambut baik penurunan PPh PNS golongan III, dari yang semula sebesar 15 % menjadi 5 %. Maksudnya, prosentase yang akan ditetapkan, memang harusnya disesuaikan dengan kondisi terkini (profil) rakyat, dengan mempertimbangkan semangat keadilan dan kepatutan. Golongan III yang memiliki pokok gaji sekian, dengan beban hidup sekian, tentu merasa berat jika mendapat potongan yang begitu besar (15 %).

Ketiga, terapkan sistem yang terintegrasi. Menurut saya, NPWP nantinya, tidak hanya diharuskan bagi setiap karyawan yang memiliki penghasilan di atas PTKP, namun diberikan kepada seluruh warga negara. Secara teknis, NPWP dapat diberikan seperti halnya nomor induk kependudukan. Oleh karenanya, NPWP memang harus terintegrasi dengan data kependudukan secara nasional.Usulan saya, dalam satu keluarga (satu KSK) terdapat satu NPWP-Utama. Sementara bagi setiap anggota keluarga, diberi NPWP-Keluarga yang memuat kode tambahan tertentu di belakang kode NPWP-Utama. Tujuannya, untuk menjaga kesinambungan azas keadilan dan kepatutan tadi.

Jadi dalam sistem ini, NPWP-Utama akan menampung seluruh data transaksi keuangan yang dilakukan oleh keluarga tersebut. Ide ini, sebenarnya terinspirasi dari adanya kewajiban bagi mereka yang akan melakukan transaksi jual beli tanah/rumah, dengan terlebih dahulu harus memiliki NPWP. Semestinya, penggunaan NPWP sebagai prasyarat, tidak berhenti di situ saja. Negara, harusnya bisa merekam seluruh transaksi jual-beli yang ada di Indonesia.

Misalnya si A, dalam bulan ini, dia membeli tanah. Kemudian istrinya membeli mobil. Kemudian anaknya, membeli HP baru. Dan setiap minggu, keluarga ini selalu makan bersama di restoran ternama. Melalui konsep NPWP Integrated ini, kantor notaris-dealer mobil-counter HP-restoran, diharuskan memiliki sistem yang terintegrasi dengan Kantor Pajak. Sehingga setiap transaksi yang berlangsung, juga harus menyertakan NPWP-Keluarga yang dimiliki. Di sisi lain, Kantor Pajak bertugas merekap transaksi tersebut ke dalam data NPWP-Utama.

Jadi, saat akhir tahun tiba, Kantor Pajak cukup mengirimkan tagihan pajaknya (PPh) kepada setiap wajib pajak, agar segera dibayarkan. Dalam sistem ini,  NPWP-Utama berperan sebagai dasar perhitungan angka tagihan. Namun agar adil dan bertanggung jawab, maka setiap keterlambatan akan dikenakan denda. Sebaliknya, jika terjadi kekeliruan terhadap angka tagihan yang diberikan, maka Kantor Pajak juga akan memberikan “bonus” tertentu kepada Wajib Pajak, akibat keteledoran yang diperbuat. Bonus itu, dapat berbentuk pengurangan tagihan pajak yang akan diberikan pada tahun berikutnya.

Selain itu, azas keadilan tetap harus menjadi acuan utama. Jika keluarga si A misalnya, dalam tahun berjalan, ada anggotanya yang masuk ke rumah sakit, maka ia akan memperoleh pengurangan pajak. Maksudnya, setiap transaksi di RS juga tetap harus menyertakan NPWP-Keluarga. Melalui transaksi pembayaran yang terekam, status sakit kemudian akan dapat digunakan sebagai pengurangan angka tagihan (PPh) pada NPWP-Utama, yang akan dikeluarkan oleh Kantor Pajak pada setiap akhir tahun.

Di sini, aneka filosofi dan fungsi pajak akan muncul, karena memang hanya golongan yang patut saja yang akan dikenakan pajak. Bagi rakyat yang tidak mampu membeli rumah, tanah, mobil, atau pergi ke restoran, akan dibebaskan dari pajak, dan akan disubsidi melalui pembangunan fasilitas umum. Di sisi lain, Kantor Pajak akan benar-benar mampu mengawasi dan menyedot pajak yang semestinya harus dibayar oleh Wajib Pajak yang patut.

NPWP Integrated ini tentu, masih menyimpan potensi lain. Khususnya bagi program-program yang diselenggarakan pemerintah. Misalnya, Kemendiknas dapat menyelenggarakan program Ayo Membaca ! Karenanya, setiap transaksi pembelian buku, mungkin dapat pula diusulkan sebagai salah satu item pengurangan pajak (PPh). Program lain, misalnya bagi pendonor darah atau organ kesehatan lain yang dibutuhkan, mungkin juga dapat diusulkan sebagai item lain bagi pengurangan pajak.

Pada kasus lain, NPWP Integrated akan dapat menekan budaya konsumtif. Masyarakat akan terbiasa untuk hidup hemat dan merencanakan pengeluaran mereka. Artinya, pungutan pajak hanya dibebankan pada orang-orang yang patut dan mampu untuk membayar pajak. Di sisi lain, mereka juga akan memiliki kesadaran atas pembayaran pajak, sebagai konsekuensi atas transaksi ekonomi-sosial-budaya yang telah dilakukan.

Selain itu, perlu juga diberikan aneka bentuk reward bagi Wajib Pajak yang “baik”. Tidak hanya untuk perusahaan/badan pembayar pajak terbesar, namun reward juga dapat diberikan kepada WP terajin/disiplin/dsb. Kesemuanya, masih dapat diolah sebagai salah satu program peningkatan jati diri bangsa, yang berbasis pada moralitas, dst. Yang menarik, konsep NPWP Integrated ini, dapat juga digunakan untuk percepatan pemberantasan korupsi, melalui azas pembuktian terbalik ;)

Demikian sekedar pemikiran dangkal dari saya. Tetap Semangat Indonesiaku !!!
http://yuniawan.blog.unair.ac.id/archives/180#more-180

Pajak Kita Untuk Semua


Pajak kita untuk semua

Pajak adalah sumber penerimaan utama bagi Negara
Negara kuat karena Pajak hebat
Pajak hebat karena petugasnya hebat

Hebat dalam berkarya
Hebat dalam bertugas
Hebat yang bermartabat

Bukan hebat yang mendholimi rakyat
Bukan hebat yang membikin takut masyarakat
Bukan hebat yang membuat orang mengumpat
Bukan hebat itu namanya ….

Pajak kita untuk semua
Ada  JAMKESMAS yang disalurkan (lewat) Dinas kesehatan
Ada BOS yang disalurkan (lewat) Dinas Pendidikan
Ada SERTIFIKASI bagi GURU (lewat) Dinas Pendidikan
Ada REMUNERASI bagi PNS tertentu
Ada banyak dana yang bisa disalurkan ke masyarakat bawah

Tetapi mengapa kebaikan tidak kunjung tiba …
Yang tampak kebaikan yang semu

Masih banyak rakyat yang …
Melarat
Bodoh
Penyakitan
Lemah